Kamis, 09 Desember 2010

C e r m i n

Di depan cermin kuberkaca
kulihat sesosok tubuh berdiri tanpa suara
matanya memandang hina
menatapku penuh cela
senyum tipis di bibirnya hampir sirna
berhias seribu cerca

Bila Tiba Waktu Berpisah

Di bawah naungan langit biru dengan segala hiasannya yang indah tiada tara
Di atas hamparan bumi dengan segala lukisannya yang panjang terbentang
Masih kudapatkan dan kurasakan
Curahan rahmat dan berbagai ni'mat
Yang kerap Kau berikan
Tapi bila tiba waktu berpisah
Pantaskah kumemohon diri
Tanpa setetes syukur di samudera rahmat-Mu

Anak-anak dengan Bau Matahari

Laki-laki kecil itu berusia sekitar 8 tahun. Tubuhnya kecil. Tapi dia tampan dan berkulit bersih. Dia mengenakan baju yang kelihatannya branded, hanya saja lusuh. Menggendong ransel dan memakai jam di tangan kanan. Meskipun ia bau matahari ada yang menarik dari dirinya. Matanya bersinar cerdas. Dan saya langsung jatuh cinta. Saat ia menyanyikan lagu dengan diiringi musik dari botol aqua kecil yang diisi dengan sedikit beras. Dia tak menyanyikan lagu dangdut atau lagu pop yang sedang ngetrend lainnya. Ia juga tidak menyanyikan lagu-lagu khas pengamen jalanan yang biasa dibawakan para pengamen. Ia menyanyikan lagu yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Sebuah lagu tentang keindahan alam yang tak lagi saya ingat syairnya. Dengan suara yang terlantun jernih, tidak fals.

About Love,, Cinta Abadi,,,,

“Ma, itu apa, yang kelap-kelip di atas …” telunjukku mengarah ke langit.

“Itu namanya bintang nak, salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan,” terang Mama dengan sempurna sekaligus bijak.

Kutahu, usiaku dua tahun lebih sedikit waktu itu. Usia yang selalu ingin tahu segala hal dan mengejar seribu jawaban dari siapapun terhadap hal yang baru kulihat. Dan Mama, dialah yang paling sabar menerangkan semua tanya itu, meski tak pernah kupuas, tapi aku cukup yakin saat itu, bahwa Mama segala tahu.